Jumat, 31 Agustus 2007

ANAK LUAR BIASA / BERKEBUTUHAN KHUSUS

a. Pengertian Anak Luar Biasa
Anak Luar Biasa adalah setiap orang yang mempunyai kelainan atau penyimpangan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan suatu aktivitas secara selayaknya (PP. No.4 / 1997; UUSPN. No.20 / 2003). Jadi kelainan atau penyimpangan yang dimaksud di atas, meliputi aspek fisik / kodisi fisik, mental / kemampuan mental, dan emosi / sosial.
Penyimpangan atau kelainan fisik yang ada pada anak luar biasa, menurut UUSPN No.20 Tahun 2003 meliputi : (a) tuna netra; (b) tuna rungu; (c) tuna wicara; (d) tuna daksa; dan (e) gangguan motorik. Sedangkan penyimpangan atau kelainan kemampuan mental dapat bersifat abnormal dan subnormal. Penyimpangan atau kelainan mental yang bersifat abnormal meliputi : (a) penyandang gitted; (b) talanted; dan (c) superior (kadar kecerdasan di atas 110). Untuk penyimpangan atau kelainan mental yang bersifat subnormal, ada yang memiliki kemampuan mental rendah taraf ringan, taraf sedang, dan taraf berat. Menurut UUSPN No.20 Tahun 2003 penyimpangan atau kelainan kemampuan mental meliputi : (a) tuna grahita; (b) lambat belajar; (c) kesulitan belajar; dan (d) autistik. Ada penyimpangan yang juga termasuk kajian pendidikan luar biasa, yaitu meliputi : (a) anak berperilaku menyimpang dan (b) penyandang korban narkoba.
b. Permasalahan-permasalahan Anak Luar Biasa
Penyimpangan atau kelainan yang ada pada diri setiap orang dapat mendatangkan permasalahan-permasalahan tertentu, terutama permasalahan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup.
Secara makro, dampak penyimpangan atau kelainan atau kecacatan tidak saja berpengaruh terhadap timbulnya masalah-masalah yang dirasakan atau berhubungan langsung dengan penyandangnya sendiri., melainkan juga dapat menimbulkan masalah bagi keluarganya dan masyarakat di sekitar tempat tinggal penyandang cacat atau kelainan (A. Salim, 1999). Meskipun anak luar biasa memiliki segudang kelemahan, namun mereka adalah warga negara yang sama dibandingkan orang-orang yang normal, yang pelaksanaan aktualisasi potensinya disesuaikan dengan derajat kelainan atau penyimpangan atau kecacatan, pendidikan dan kemampuannya (UU No.4 / 1997, UUSPN No.20 / 2003).
c. Hak-hak Anak Luar Biasa
Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional, anak luar biasa adalah merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama (UU No.4 / 1997, UU No.25 / 1997, PP No.72 / 1991, PP No.36 / 1980).
Hak-hak Anak Luar Biasa atau penyandang cacat atau kelainan berdasarkan Undang-undang nomor 4 Tahun 1997 adalah hak untuk memperoleh :
1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan,
2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya,
3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya,
4) Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya,
5) Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, dan
6) Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacatdalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
d. Pendidikan bagi Anak Luar Biasa
Meurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, penyandang kelainan fisik dan atau mental maupun keluarbiasaan kemampuan dan intelegensi berhak atas layanan pendidikan khusus. Bagi penyandang cacat telah diundangkan PP No. 72 tahun 1991 tentang pendidikan luar biasa, dan dewasa ini telah ada lebih dari 750 lembaga pendidikan PLB dengan jumlah murid lebih dari 33.000 orang yang tersebar diseluruh Indonesia (Subdit PLSB,dalam Sunardi, 1998). Bagi penyandang cacat yang memperoleh layanan pendidikan khusus, pelaksanaannya di lembaga pendidikan khusus, yang disebut sekolah luar biasa (SLB ).
Sistem pendidikan penyandang cacat di sekolah khusus disebut sistem segregasi, dimana penyandang cacat memperoleh pendidikan di sekolah yang khusus untuk penyandang cacat dengan kurikulum dan guru yang khusus pula. Demikian juga peserta didiknya semuanya adalah penyandang cacat sejenis seperti tuna netra, tuna rungu wicara, tuna grahita, dan sebagainya. Jenjang pendidikan bagi penyandang cacat di sekolah khusus ini terdiri atas tingkat persiapan (TKLB), tingkat dasar (SDLB), tingkat lanjutan pertama (SLTPLB), dan tingkat lanjutan atas (SMLB).Semua jenjang pendidikan tersebut berada di dalam satu sekolah yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sistem pendidikan model segregasi atau terpisah dengan orang normal semacam ini mengandung beberapa kelemahan, diantaranya (Salim Choiri, 2000):
1. Biaya untuk mendirikan sekolah sangat mahal.
2. Umumnya tempat sekolah di kota sehingga banyak penyandang cacat yang tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini.
3. Jumlah guru yang dibutuhkan sangat banyak sehingga tidak efisien, demikian juga biaya operasional sekolah, sarana pendidikan, sarana terapi, dan sebagainya. Semuanya itu membutuhkan biaya yang mahal.
Atas dasar pertimbangan mahalnya biaya pendidikan di sekolah khusus, maka sekarang kecenderungan penyelenggaraan Pendidikan bagi penyandang cacat adalah menerapkan sistem integrasi.
------------------------------ oOo ----------------------------

PENDIDIKAN INKLUSIF
Pendidikan integrasi merupakan model lain bagi pendidikan anak luar biasa, di mana pendidikan tersebut diintegrasikan bersama anak normal di sekolah reguler (umum). Pendidikan integrasi ini merupakan embrio bagi pendidikan anak luar biasa atau penyandang cacat model inklusif.
Perbedaan utama model pendidikan integrasi dengan model pendidikan inklusif adalah terletak pada pemilihan bahan ajar. Pada pendidikan model integrasi bahan ajar bagi anak luar biasa adalah sebagaimana yang tercantum di dalam kurikulum formal di sekolah umum. Sedangkan pendidikan model inklusif pemilihan bahan agar berangkat dan kemampuan yang dimiliki anak luar biasa atau penyandang cacat secara individual.
Pendidikan model inklusif sama sekali tidak mempertimbangkan anak apa penyimpangan atau kelainan atau kecacatan anak dan bagaimana kelemahan atau ketidakmampuan anak. Yang menjadi fokus adalah kemampuan masing-masing anak, maka bahan ajar di suatu kelas yang di dalamnya terdapat anak luar biasa akan sangat bervariasi.
Sejak digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan luar biasa, ada upaya kuat untuk melaksanakan pendidikan bagi anak luar biasa secara terpadu, bahkan inklusif (terpadu penuh), dengan anak normal di sekolah biasa. Upaya tersebut lebih gencar setelah ada pernyataan salamanca pada saat Konfrensi Dunia tentang Pendidikan Luar Biasa Bulan Juni 1994 bahwa “ prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah : selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.
Dalam perkembangannya, pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak luar biasa, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi kominitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat penanganan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak luar biasa di didik bersama-sama anak normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freibeng, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak luar biasa yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Di lain pihak, Vaughn, Bos, dan Schumin (2000), mengatakan bahwa dalam praktek, istilah inklusi sering dipakai bergantian dengan istilah maintreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak luar biasa sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak luar biasa harus dipilih yang paling bebas diantaranya :
Kelas reguler tanpa tambahan bimbingan khusus ,
Kelas reguler dengan tambahan bimbingan khusus di dalam,
Kelas reguler dengan tambahan bimbingan khusus di luar ,
Kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas reguler ,
Kelas khusus penuh,
Sekolah khusus,
Sekolah berasrama atau panti, atau
Tempat khusus.

Seperti disebutkan di atas, di negara asalnya inklusif masih mempunyai kontroversi (Sunardi,1997). Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas biasa menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak.
Biaya pendidikan luar biasa yang relatif lebih mahal dari pada biaya pendidikan umum.
Pendidikan di luar kelas biasa mengharuskan penggunaan label luar biasa yang dapat berakibat negatif bagi anak.
Banyak anak luar biasa yang tidak mampu memperoleh layanan pendidikan karena tidak bersedia di sekolah terdekat.
Anak luar biasa harus dibiasakan tinggal dalam lingkungan masyarakat bersama warga masyarakat lainnya.
Sedangkan pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak luar biasa menggunakan argumen bahwa :
perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak luar biasa disediakan layanan yang bersifat kontinum.
Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan bagi anak luar biasa.
Tidak semua orang tua menghendaki anak cacatnya berada di kelas biasa bersama teman-temannya yang normal.
Banyak sekolah yang belum siap menangani semua anak luar biasa di dalamnya.
---------------------- oOo ----------

Tidak ada komentar: